Jikalau kapas seringan awan
gagahkah ia menampung hujan?
Tibanya kemarau semusim lalu
kita menghitung belulang ternakan
serta reranting tanaman yang gersang
sambil berharap malaikat maut datang
menghidangkan segelas minuman.
Lupakah, pada dua musim lepas
bukankah kita pengembala dosa paling tegar
menternak nafsu di kandang duniawi lalu
tatkala tiba senja, kita biarkan ia bebas
meragut angkuh di padang hibur hingga
runtuh pagar imani dan peribadi.
Sekian kali, saat petir mengetuk simpati pintu langit
kitalah warga nyanyuk yang bersorakkan
menadah dan meneguk air yang mengguyur
dari langit-Nya ke tanah berlecah. Sungguh,
kitalah sang pelatah dan pelupa
punya mata, tapi yang buta
punya telinga, tapi yang tuli
punya hati, tapi yang mati.
Maka, kitakah kerpasan awan atau
gumpalan kapas hanya; buat menyuci
lanarnya nanah jahiliah di dada sendiri?
-MA-
Mingguan Malaysia