Puisi: Mengetuk Simpati Langit

Jikalau kapas seringan awan

gagahkah ia menampung hujan?

Tibanya kemarau semusim lalu

kita menghitung belulang ternakan

serta reranting tanaman yang gersang

sambil berharap malaikat maut datang

menghidangkan segelas minuman.

Lupakah, pada dua musim lepas

bukankah kita pengembala dosa paling tegar

menternak nafsu di kandang duniawi lalu

tatkala tiba senja, kita biarkan ia bebas

meragut angkuh di padang hibur hingga

runtuh pagar imani dan peribadi.

Sekian kali, saat petir mengetuk simpati pintu langit

kitalah warga nyanyuk yang bersorakkan

menadah dan meneguk air yang mengguyur

dari langit-Nya ke tanah berlecah. Sungguh,

kitalah sang pelatah dan pelupa

punya mata, tapi yang buta

punya telinga, tapi yang tuli

punya hati, tapi yang mati.

Maka, kitakah kerpasan awan atau

gumpalan kapas hanya; buat menyuci

lanarnya nanah jahiliah di dada sendiri?

-MA-

Mingguan Malaysia